31 July 2008
Jilati Aku
Beberapa pasang mata menatapku
dari lorong kecil di depan sana
Ketika aku sedang berfriendster ria
Lirak-lirik penuh gairah, entah gerangan apa
Beberapa pasang mata berjalan penuh pesona
Menunjukkan segenap apa yang bisa ditunjukkan
Seperti mencari perhatian
Sibuk-sibuk tak karuan
Beberapa pasang mata ternyata sedang menjilat
Seseorang yang duduk berwibawa tak jauh darinya
Aku mencibir dalam hati
melihat beberapa pasang mata berubah gairah
merubah gaya
Ketika bosnya meninggalkan tempat kerja
Ah, andai aku juga dijilati mereka
30 July 2008
Ibu Budi
Ini Ibu Budi
Budi ini Ibu
Apa kamu tau maknanya Nak?
Mungkin tidak hingga kamu mau mencuci piring ini
atau takkan pernah selagi kamu tak ikut serta menangisi bangkai sibapak
Cukup lama aku merindukan tangisanmu minta tetek,
menghembus keningmu saat kehangatan tak sanggup kau redam
Tapi tubuhmu yang terlalu tinggi enggan menunduk menatapku
Ini Ibu Budi
Budi ini Ibu
dan aku merindukan kepulanganmu Malinku.
28 July 2008
Wanitaku Layang
hello wanita kurus kerempeng,
mengapa kau begitu angkuh tuk terbang tinggi sendirian?
tidakkah kau ingin disampingku dan mencicipi anggur ini?
kemarilah...
hentikan kekonyolanmu tuk melawan raja udara,
kau pikir dengan kertas tiga rupa itu kau dapat membuatnya tertawa?
Tidak!
justru malah kau yang kan menangis tuk menghujamkan dirimu di rerumputan ini
kemarilah...
aku telah jatuh cinta padamu,
seperti Kahli menyelimuti Karami dengan puisi dan cintanya
kan kubuat hal serupa.
atau kau ingin melayang lebih tinggi?
kemarilah...
tuk kutambah talimu, dan nanti di atas sana buatlah garis membelah awan
yang membentuk nama kita,
dan setelah itu,
kau milikku.
Beri Aku Judul
Aku ini orang kaya
apa tidak kau lihat kerlap-kerlip ditubuhku menyilaukan matamu
tidak terciumkah olehmu wangiku disetiap udara yang kau hirup
coba kau jilati manisnya liur dlantai, itu milikku!
enyah kau!
jangan halangi kaummu dibalik stir yang kan menjemputku.
Apa kau tidak lihat betapa sombongnya aku? Itu pertanda aqu dapat membeli
semua warna hidupmu
Aku ini orang kaya, dan kau makan dari sepatuku yang kau usap!
27 July 2008
Sebelum Membatu
Aku ingin menjelajahi dunia.
Dari kidul menuju utara.
Melewati india, negara yang dipenuhi fosil sansekerta.
Menikmati Afrika, tempat yang penuh peradaban istimewa.
Lalu berhenti di Korea, mencari kehidupan baru di sana.
Dari sini, semua akan segera di mulai.
Ya, segera di mulai.
Aku tak sabar!
Aku tak sabar menjelajahi dunia!
Ya Tuhan...
Kenapa kau biarkan aku terkungkung dalam harapan besar
Berikanlah segera!
Sebelum jerawatku membatu
sebelum dikutuk jadi Malin Kundang
Hanya Pesan Pendek
Kutuliskan sebuah salam pembuka
"Assalamualaikum!" namun engkau tak menyahut panggilanku.
Berharap kau meluangkan sedikit pulsa untuk membaca rindu di dada, kutuliskan "Sore." ucapku tanpa nada
Tak kunjung digubris, tanganku berkata "Malam." untuk ketiga kalinya aku masih setia mencoba.
Tiga jam berlalu, tiga jam darah merebus amarah, kau baru menjawab.
Ah.. Akhirnya...
"Walaikumsalam, sore juga, malam juga."
usaha yang bagus untuk meredam amarah, tapi kukira percuma.
"Pulsa Re lagi abis, Ri. Ini aja nyuri hp papa. Napa?"
lagi-lagi usaha yang bagus, tapi tetap percuma.
"Kangen Ri ma Re?"
"Ndak do! Ri sms ampe tiga kali, cuma iseng-iseng aja!"
Dan pembicaraan itu berlanjut.
Ini sajak, bukan diary sms. Aku berhenti menulis sampai di sini.
25 July 2008
Dua Hariku Tanpa Al-Qur'an
20 Juli 2008
Dua hari aku tidak membuka Al-Qur'an
Setelah setan merasukiku lagi
Dua hari aku tidak membuka Al-Qur'an
Dua hari aku dikurung bingung
"Tidak bertahan lama lagi?"
Dua hari aku dimakan bosan
"Berapa lama aku harus dipistol tolol?"
dor... dor... dor...
Bahkan ketika nadaku masih cempreng
Bang... bang... bang...
Sudahlah, dua hari sudah berlalu
Mari memulai wisata baru
Kubuka ayat-ayat setelah isya
dengan cemprengku, aku tetap bergairah
Aku semakin bahagia
Ketika akhirnya kubaca di halaman paling bawah
"Juz 1 berakhir di sini."
20 July 2008
Ini Masih Puisi Kami
Aku tau kau tau
Bahkan untuk bertukar link saja, kau ogah
Pasti kau masih ingat kami tak lebih dari satu lingkaran suara yang bisa ilang kapan saja
Kau pikir "mereka tak ada gunanya!"
Apa karena kami belum mencetak buku?
Apa karena nama kami tidak terpampang di media-media?
Seperti namamu
Tak salah, aku hanya mengidolakan Anwar
Penyair yang tlah lama mati itu
Ini adalah Puisi Kami
Sampaikan dengan sajak
Kami adalah kumpulan orang dungu yang mencoba menyelami sastra
Beribu kebodohan kami tumpuk-tumpuk di atas kertas puisi
Aku dengan segala egoku yang menceracau
Sedangkan mereka, mungkin, dengan segala emosi atau kelembutan mereka
Tentu saja dibalut dengan kebodohan yang indah, setidaknya bagi kami
Terpikir, kami tak lebih dari satu lingkaran suara yang bisa ilang kapan saja
Di suatu tempat yang kecil yang disebut blog, kami menyuarakan suara yang bisa ilang kapan saja itu.
Itu benar-benar ilang
Tentu saja, kami tak sehebat Kahlil yang mampu terbang ke seluruh penjuru dunia dengan sayap-sayap patahnya
Dan tentu saja, kami tak sehebat penyair yang kalian sebut si binatang jalang itu
Kami, seperti yang mereka tau, tiga bocah ingusan yang berusaha bernafas sastra antara dengus ingusnya.
Husgh...
Lagi-lagi dengan kebodohannya
Tapi lihatlah!
Setidaknya kami masih bisa bertahan dengan kebodohan kami
"Ini bukan masalah sebanyak apa kita memukul. Tapi, sebanyak apa kita menerima pukulan dan mampu terus melangkah maju."
Seperti itulah pesan yang kudapat dari Rocko
Dan kau telah lihat betapa bodohnya sajak ini
Aku tau kau tau
Bahkan untuk bertukar link saja, kau bisu
Pasti kau sudah tau bahwa kami tak lebih dari satu lingkaran suara yang bisa ilang kapan saja
Kau pikir "mereka tak ada gunanya!"
18 July 2008
Emosi?
Aku memang patah hati
Kalau dibilang sakit, ya udah pasti sakit,
mungkin seperti papan coklat ini yang ku tusuk-tusuk paku,
atau seperti batu yang kulempar menepis wajah sungai itu,
Tapi rambut tak menutup mata,
atau lukisan ini dua warna.
Tidak kepala tertunduk,
dengan badan bungkuk kaki merapat.
Aku ya aku.
Biar sakit menguliti waktu,
Aku ya Aku.
Aku tidak tunduk oleh EMOsi.
15 July 2008
Ketika Aku Ingin Pulang
Ketika aku ingin pulang
dari ruang kelana yang panjang
Meski tertatih, aku terbang ke Bangkinang
setidaknya pikiranku
Ketika aku ingin pulang
berarti aku sedang bosan
ta ti tu
bla bla
Ketika aku ingin pulang
berarti aku sedang bosan
dari ruang kelana yang panjang
ta ti tu
bla
Kami Tak Bisa Lagi Teriak Merdeka
Untuk: Petinggi negeriku dan Ch. Anwar dan karya-karyanya yang tak 'kan pernah mati
Kami tak bisa lagi teriak merdeka
Ketika kemiskinan tak hanya melilit raga
Ditelanjangi dusta dan kehinaan yang terjadi di balik akal busuk si setan harta
Kami tak bisa lagi teriak merdeka
Tersesat kering di lumbung padi
Merayap-rayap menanti mati!
Kami tak bisa lagi teriak merdeka
Ketika dusta tak lagi rahasia
Dunia menenggelamkannya dalam dasar bumi terdalam
Tiada lagi malaikat putih penebar harapan
Seperti beberapa tahun yang lalu kau siluetkan
Kami tak bisa lagi teriak merdeka
Terkatung di antara belatung pemakan jasad-jasad kaku, kami
Bahkan tak bisa memperjuangkan kalian
Kalian nan dulu berteriak merdeka
Bahkan kami tak mampu meneruskan jiwa kalian
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Dan Menjaga Bung Sjahrir
Bahkan kami tak mampu mengenang kalian
Kalian yang kini hanyalah tulang belulang yang diliputi debu
Karena kami tak lebih dari seonggok bangkai kering yang rapuh dimakan belatung
Engaku adalah Hawa yang Tercipta untuk Selalu Kuhela
Oleh: H.F. Merdeka
13 Juli 2008
Entah apa yang telah menyebabkanku jatuh
Aku mengagumimu hanya dari kata dalam pesan pendek yang engkau kirim semalam
Begitu bodoh terdengar
Namun percayakah kau? Begitu indah kurasakan
Kau bermain di hati dan pikiranku
Kemegahanmu adalah anugerah
Engkau adalah hawa yang diciptakan Tuhan untuk selalu kuhela
Bodoh
Oleh: H.F. Merdeka
Tengah malam, 16 Juli 2008
Di dalam kamar
di sebuah rumah sakit nan remang,
kau tertunduk lesu.
Tanganmu lemah menggenggam
jemari seorang pria yang terbaring
tak sadarkan diri di sampingmu
Di pikiranmu,
kau membayangkan kejadian dua belas jam silam
saat seorang pria yang terbaring
tak sadarkan diri di sampingmu itu menyelamatkanmu
dari maut yang berwujud senjata api
Di saat aku terbangun,
kau menangis, memelukku, lalu kemudian memakiku
Hening merayap walau tangismu tetap saja meratap
Kau bodoh!
Katamu sebelum beranjak pergi
Aku hanya melihatmu, selang oksigen masih merekat di hidungku
Ketika kau membuka pintu
"Ya, otakku memang bodoh karena tak bisa memikirkan apapun selain namamu!" teriakku berbisik.
Seketika kau melompat ke pundakku, menangis
Dan aku tersenyum
Tidak lama, aku berbaur dengan tangismu
Pengantar Tidur
Oleh: H.F. Merdeka
Tengah malam, 22 Juni 2008
Krik...krik...krik...
Aku tak bisa setegar dua menit yang lalu, ketika air mata masih di dalam tubuhku
Krik...krik...krik...
Aku teringat ayahku, ibuku
kakak-kakakku,
adikku, dan satu sahabat perempuan yang lagi memusuhiku
Krik...krik...krik...
Malam ini, sebagai pengantar tidurku
Kuserahkan segenap air mata untuk mereka
Krik...krik...krik...
Ah... tak bisakah jangkrik itu berhenti sejenak?